Pages

Jumat, 29 Mei 2015

Kewajiban / Hutang Jangka Panjang



Kewajiban jangka panjang adalah kewajiban yang pelunasannya atau jatuh temponya lebih dari satu tahun atau satu periode akuntansi mana yang lebih lama. Contoh dari utang jangka panjang adalah utang hipotik, utang obligasi, wesel bayar jangka panjang, kewajiban pensiun, kewajiban lease dll.
 
UTANG OBLIGASI

 

Obligasi adalah surat tanda bukti utang yang dikeluarkan oleh perusahaan kepada pemegangnya dengan imbalan bunga sejumlah ter tentu. Dalam setiap obligasi tertera nilai nominal obligasi serta tingkat bunga obligasi. Nilai nominal atau nilai pari adalah nilai yang menunjukkan jumlah yang harus dibayar perusahaan pada waktu obligasi jatuh tempo.
 

Sedangkan tingkat bunga obligasi menunjukkan sejumlah prosentase tertentu yang harus dibayarkan secara periodik kepada pemegang obligasi. Perusahaan menerbitkan obligasi biasanya disebabkan oleh kebutuhan dana dalam jumlah besar yang tidak bisa dipenuhi dari akumulasi laba ditahan maupun dari utang bank. Karena obligasi ini memiliki masa jatuh tempo yang lebih dari satu tahun (biasanya antara 5 sampai dengan 20 tahun), maka apabila perusahaan menerbitkan obligasi akan menimbulkan utang obligasi. Utang ini dikelompokkan ke dalam utang jangka panjang.

JENIS DAN PERINGKAT OBLIGASI
  • Obligasi Berjamin dan Tanpa Jaminan .Secured bonds didukung oleh janji dari bebrapa orang penjamin. Obligasi hipotik dijamin oleh klaim atas real estate. Unsecured bonds merupakan obligasi tanpa jaminan dan sangat berisiko, sehingga harus membayar bunga lebih tinggi.
  • Obligasi Berjangka, Obligasi Berseri dan Obligasi Yang Dapat Ditebus. Obligasi Berjangka terbitan obligasi yang telah jatuh tempo pada satu tanggal, Obligasi Berseri terbitan yang jatuh tempo namun pembayarannya secara angsuran, Obligasi Yang Dapat Ditebus memberikan hak kepada penerbit untuk menebus dan menarik kembali obligasi sebelum jatuh tempo
  • Obligasi Konvertibel, Obligasi Yang Didukung Komoditas, dan Dengan Diskonto Besar. Obligasi Konvertibel obliasi yang bisa dikonversi menjadi sekuritas lain dalam jangka waktu tertentu setelah penerbitannya, Obligasi yang Didukung Komoditas obligasi yang dapat ditebus dengan menggunakan komoditas seperti minyak dalam barel, batubara dalam ton, dan logam mulia dalam ons, Obligasi Dengan Diskonto Besar dijual pada diskonto yang memberikan total pembayaran harga pada saat jatuh tempo kepada pembelinya.
  • Obligasi Terdaftar dan Obligasi Atas Unjuk. Obligasi Terdaftar obligasi yang diterbitkan atas nama pemilik. Obligasi Atas Unjuk obligasi yang tidak mencatat nama pemilik.
  • Obligasi Laba dan Obligasi Pendapatan. Obligasi Laba tidak membayar bunga kecuali perusahaan mendapat laba, Obligasi Pendapatan
 
PENILAIAN HUTANG OBLIGASI-DISKONTO DAN PREMI 
 
Harga jual obligasi ditentukan oleh permintaan dan penawaran dari pembeli dan penjual, risiko relative, kondisi pasar dan keadaan perekonomian. Investor menilai obligasi pada nilai sekarang dari arus kas ke masa depan yang diharapkan, yang terdiri dari bunga dan pokok. Suku bunga yang digunakan adalah suku bunga yang memberikan pengembalian atas investasi yang dapat diterima, yang sebanding dengan risiko penerbitannya.
 
Suku bunga yang ditulis dalam persyaratan obligasi disebut suku bunga ditetapkan, kupon atau nominal. Suku bunga ini yang ditetapkan oleh penerbit obligasi dinyatakan dalam persetase dari nilai nominal yang disebut nilai pari, jumlah pokok atau nilai jatuh tempo. Selisih antara nilai nominal dengan nilai sekarang menentukan harga actual yang dibayar pembeli obligasi. Selisih antara nilai nominal dengan nilai sekarang bisa berupa premi atau diskonto. Jika obligasi dijual lebih tinggi dari nominalnya maka dijual dengan premi, jika sebaliknya dijual dengan diskonto.

Apabila obligasi dijual di bawah nilai nominal maka investor mrnuntut suku bunga yang lebih tinggi dari yang ditetapkan. Biasanya ini terjadi karena investor dapat menghasilkan tingkat yang lebih tingggi pada investasi alternative dengan risiko yang sama. Mereka tidak dapat mengubah suku bunga yang ditetapkan sehingga menolak untuk membayar seharga nilai nominal. Jadi, dengan mengubah jumlah investasi mereka dapat mengubah suku bunga efektif.



METODE BUNGA EFEKTIF
  1. Beban bunga obligasi dihitung pertama kali dengan mengalikan nilai buku obligasi pada awal periode dengan suku bunga efektif.
  2. Amortisasi diskonto atau premi obligasi kemudian ditentukan dengan membandingkan bunga obligasi terhadap bunga yang dibayarkan

KLASIFIKASI DISKONTO DAN PREMI
            
Diskonto hutang obligasi bukan merupakan aktiva karena tidak memberikan manfaat ekonomi di masa mendatang. Secara konseptual diskonto hutang obligasi merupakan akun penilaian kewajiban, yaitu pengurangan dari jumlah nominal atau jatuh tempo kewajiban yang berhubungan. Akun ini disebut akun kontra.
            
Premi hutang obligasi tidak memiliki eksistensi yang terpisah dari hutang yang berkaitan. Secara konseptual premi hutang obligasi merupakan akun penilaian kewajiban yakni penambahan pada jumlah nominal atau jatuh tempo kewajiban yang berhubungan. Akun ini disebut Akun Ajun atau akun pengimbang. Akibatnya perusahaan melaporkan dskonto obligasi dan premi obligasi sebagai pengurang lasngsung dari jumlah nominal obligasi.

OBLIGASI TREASURI
 
Merupakan hutang obligasi yang telah diakuisisi kembali oleh perusahaan yang menerbitkannya atau agen atau trustee atau perwaliannya yang belum dibatalkan dan akun dari obligasi treasuri harus dikredit.
 

PELUNASAN HUTANG LEBIH AWAL
            
Jika obligasi dipegang hingga jatuh tempo, maka tidak ada keuntungan atau kerugian yang dihitung. Setiap premi atau diskonto dan setiap biaya penerbitan akan diamortisasi sepenuhnya pada tanggal obligasi jatuh tempo. Akibatnya, jumlah tercatat akan sama dengan nilai jatuh tempo (nominal) obligasi tersebut. Karena nilai nominal sama dengan nilai pasar obligasi maka tidak ada keuntungan atau kerugian.
            
Dalam beberapa kasus, hutang dilunasi lebih awal sebelum tanggal jatuh tempo. Jumlah yang dibayarkan atas pelunasan lebih awal sebelum jatuh tempo mencakup premi penarikan dan beban reakuisisi yang disebut harga reakusisi. Pada tanggal tertentu, jumlah tercatat bersih dari obligasi adalah jumlah yang akan dibayarkan pada jatuh tempo yang disesuaikan dengan premi atau diskonto yang belum diamortisasi dan biaya penerbitan. Setiap kelebihan dari jumlah bersih yang tercatat di atas harga reakusisi merupakan keuntungan dari pelunasan lebih awal dan sebaliknya.
 
WESEL BAYAR JANGKA PANJANG
 

Terdiri dari :
1.      Wesel yang Diterbitkan Pada Nilai Nominal
2.      Wesel yang Tidak Diterbitkan Pada Nilai Nominal
·         Wesel Dengan Bunga Nol
·         Wesel Berbunga
3.      Wesel Bayar Dalam Situasi Khusus
·         Wesel Diterbitkan untuk Properti, Barang dan Jasa
 
Suku bunga yang ditetapkan dianggap layak jika : 1) Tidak ada suku bunga yang ditetapkan (2) Suku bunga yang ditetapkan tidak layak (3) Jumlah nominal yang ditetapkan dari instrument hutang itu secara material berbeda dengan harga jual tunai berjalan atas barang yang sama atau serupa atau dari nilai pasar berjalan instrument hutang itu.
 
PILIHAN SUKU BUNGA
             
Dalam transaksi wesel, suku bunga pasar atau suku bunga efektif itu nyata atau dapat ditentukan oleh faktor lain yang terlibat dalam pertukaran, seperti nilai pasae wajar dari apa yang diberikan atau diterima. Namun, jika sebuah perusahaan tidak dapat menentukan nilai wajar property, barang dan jasa dan jika wesel tersebut tidak mempunyai pasar yang siap menampungnya, masalah penentuan nilai sekarang wesel tersebut lebih sulit. Untuk memperkirakan nilai sekarang dari wesel dalam kondisi seperti itu, perusahaan  harus memperkirakan suku bunga penerapan yang mungkin berbeda dengan suku bunga yang ditetapkan. Proses penaksiran ini disebut Pengaitan, dan suku bunga yang dihasilkan disebut Suku Bunga Terkait.
            
Suku bunga yang berlaku untuk instrument yang serupa dari dari para lembaga penerbit wesel yang mempunyai peringkat kredit yang serupa akan mempengaruhi pilohan suku bunganya. Faktor lain yang berpengruh lainnya adalah perjanjian pembatasan, jaminan, jadwal pembayaran, dan suku bunga utama yang berlaku. Perusahaan menentukan suku bunga terkait letika mereka menerbitkan wesel, perubahan yang terjadi sesudahnya pada suku bunga yang ada akan diabaikan.

WESEL BAYAR HIPOTIK
  
Bentuk paling umum dari wesek bayar jangka panjang adalah wesel bayar hipotik. Wesel Bayar Hipotik adalah wesel promes yang dijamin dengan satu dokumen yang disebut hipotik yang menggadaikan hak atas property sebagai jaminan pinjaman. Wesel bayar hipotiks erring digunakan oleh perusahaan dan persekutuan daripada korporasi.             
 
Peminjam biasanya menerima kas dalam jumlah nominal wesel hipotik, si mana jumlah nominal wesel itu merupakan kewajiban yang sebenarnya dan tidak ada diskonto atau premi yang terlibat. Namun, apabila dikenakan penilaian “poin” oleh pemberi pinjaman, maka jumlah total yang diterima oleh peminjam kurang dari jumlah nilai nominal wesel. Poin menaikkan suku bunga efektif diatas yang ditetapkan suku bunga dalam wesel. Satu poin adalah 1% dari nilai nominal wesel.
 
Referensi
1. sashaanissa18.blogspot (Click Here to View)
2. materiaccountin.blogspot (Click Here to View)

Hukum Pajak


Hukum pajak adalah hukum yang bersifat public dalam mengatur hubungan negara dan orang/badan hukum yang wajib untuk membayar pajak. Selain itu, hukum pajak diartikan sebagai keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mencakup tentang kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui uang/kas negara

Pengertian Hukum Pajak Menurut Rochmat Soemitro adalah kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Dalam hal ini menurut beliau hukum pajak mengatur siapa-siapa yang wajib pajak (subjek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa sajakah yang dikenakan pajak, cara pengajuan keberatan-keberatan, cara penagihan  dan sebagainya.



Menurut Santoso Brotodihardjo, Pengertian Hukum Pajak ialah keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara, sehingga hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban untuk membayar pajak (wajib pajak).
 

Hartono Hadisoeprapto mengungkapkan Pengertian Hukum Pajak yaitu serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana pajak itu harus dipungut serta atas keadaan -keadaan atau peristiwa-peristiwa apa pajak itu dikenakan dan berapa besarnya pajak yang harus dipungut.

Dari pengertian hukum pajak diatas kemudian dapat disimpulkan bahwa, Pengertian Hukum Pajak adalah hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya, dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai pemungut pajak dan rakyatnya sebagai pembaya pajak (wajib pajak).
 
Pengertian Pajak menurut Andriani adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.
 
Hukum pajak dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : 
  1. Hukum Pajak Material yaitu yang membuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa hukum dan perbuatan-perbuatan yang harus dikenakan pajak, berapa besar pajaknya, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak; dengan perkataan lain segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya dan hapusnya utang pajak dan juga hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. 
  2. Hukum Pajak Formal ialah peraturan-peraturan mengenai cara-cara untuk menjelmakan hukum material tersebut untuk menjadi kenyataan. Bagian hukum ini membuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu utang pajak, penyelenggaraannya dikontrol oleh pemerintah, kewajiban para wajib pajak (sebelum dan sesudah menerima surat ketetapan pajak), kewajiban pihak ketiga dan juga prosedur dalam pemungutan pajak.
 
Selain itu, hukum pajak juga merupakan bagian dari hukum publik. Hal ini disebabkan karena hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah dengan wajib pajak atau warga negara. Meski demikian, walaupun hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik, namun hukum pajak juga banyak berkaitan dengan hukum privat, yakni hukum perdata. Hal ini dikarenakan hukum pajak banyak berkaitan dengan materi-materi perdata seperti kekayaan seseorang atau badan hukum yang diatur dalam hukum perdata namun menjadi salah satu obyek dalam hukum pajak.
 
Referensi
1. id. wikipedia (Click Here to View)
2. pengertianpakar.com (Click Here to View)

Pengenaan Pajak Atas Konsumsi


Kasus :
Bagaimana Pengenaan  Pajak Atas Pengadaan Konsumsi (Makanan & Minuman) oleh Bendahara Pemerintah Melalui Pembelian Langsung ke Warung /Rumah Makan Maupun  ke Penyedia Jasa Katering ?

Solusi :
  • Uraian :
Pengertian Jasa Boga atau Katering (pasal 1 PMK Nomor 18/PMK.010/2015 adalah :

jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan penyajian, untuk disajikan di lokasi yang diinginkan oleh pemesan.


Tidak termasuk dalam pengertian jasa boga atau katering adalah penjualan makanan dan/atau minuman yang dilakukan melalui tempat penjualan berupa toko, kios, dan sejenisnya untuk menjual makanan dan/atau minuman, baik penjualan secara langsung maupun penjualan secara tidak langsung/pesanan.

Dari penjelasan tersebut maka Pengadaan Konsumsi (Makanan & Minuman) oleh Bendahara Pemerintah Melalui Pembelian Langsung ke Warung /Rumah Makan bukan termasuk dalam kriteria Jasa boga atau katering, sedangkan yang termasuk jasa boga atau katering adalah apabila pengadaan makan atau minum melalui Penyedia Jasa boga atau Katering  (Badan atau Orang Pribadi).

Berdasarkan Undang-Undang No.42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM pasal 4 A ayat 3 huruf q disebutkan  bahwa Jasa Boga atau Katering adalah termasuk dalam jasa tertentu yang tidak dikenakan PPN.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.244/PMK.3/2008  Pasal 1 ayat 2 huruf aa disebutkan  bahwa Jasa Boga atau Katering adalah termasuk dalam jenis jasa lain yang kenakan PPh Pasal 23.

Bendahara mempunyai kewajiban memungut dan memotong serta menyetorkan pajak yang terutang dalam kegiatan pengadaan barang dan atau jasa.

  •  Kesimpulan  
  1. Atas kegiatan pengadaan konsumsi (makanan dan minuman) oleh Bendahara Pemerintah melalui pembelian langsung ke warung / rumah makan maupun  ke penyedia Jasa Katering tidak terutang PPN sehingga tidak ada kewajiban pemungutan PPN.
  2.  Atas  kegiatan pengadaan konsumsi (makanan dan minuman) oleh Bendahara Pemerintah melalui pembelian langsung ke warung / rumah  terutang PPh Pasal 22 (nilai pengadaan diatas Rp.2.000.000,00) sehingga bendahara wajib memungut dan menyetorkan PPh Pasal 22 dengan tarif pajak 1,5 % x Nilai Pembelian Makanan atau minuman, apabila rekanan tidak memiliki NPWP maka tarif PPh Pasal 22 sebesar  3 %  x  Nilai Pembelian Makanan atau minuman.
  3.  Atas  kegiatan pengadaan konsumsi (makanan dan minuman) oleh Bendahara Pemerintah melalui  penyedia Jasa Boga atau Katering terutang PPh Pasal 23 sehingga bendahara wajib memotong dan menyetorkan PPh Pasal 23 dengan tarif 2 % x Jumlah Jasa Boga atau Jasa Katering, apabila rekanan tidak memiliki NPWP maka tarif PPh Pasal 23 sebesar  4 %  x  Jumlah Jasa Boga atau Jasa Katering.
 Referensi
WibowoPajak (Click Here to View)


Pemegang Saham

 
Pemegang saham (bahasa Inggris: shareholder atau stockholder), adalah seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Para pemegang saham adalah pemilik dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek berusaha untuk meningkatkan harga sahamnya. Konsep pemegang saham adalah sebuah teori bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para pemegang sahamnya dan pemiliknya, dan seharusnya bekerja demi keuntungan mereka
Pemegang saham diberikan hak khusus tergantung dari jenis saham, termasuk hak untuk memberikan suara (biasanya satu suara per saham yang dimiliki) dalam hal seperti pemilihan dewan direksi, hak untuk pembagian dari pendapatan perusahaan, hak untuk membeli saham baru yang dikeluarkan oleh perusahaan, dan hak terhadap aset perusahaan pada saat likuidasi perusahaan. Namun, hak pemegang saham terhadap aset perusahaan berada di bawah hak kreditor perusahaan. Ini berarti bahwa pemegang saham biasanya tidak menerima apa pun bila suatu perusahaan yang dilikuidasi setelah kebangkrutan (bila perusahaan tersebut memiliki lebih untuk membayar kreditornya, maka perusahaan tersebut tidak akan bangkrut), meskipun sebuah saham dapat memiliki harga setelah kebangkrutan bila ada kemungkinan bahwa hutang perusahaan akan direstrukturisasi.

ada hakekatnya, tanggung jawab pemegang saham sebatas pada jumlah nilai saham yang disetornya. Dia akan bertanggung jawab secara pribadi (tidak terbatas) bila memenuhi salah satu kondisi:

a.      melakukan satu atau lebih hal yang mengakibatkan terjadinya pengungkapan tabir perusahaan (piercing corporate veil; lihat Pasal 3 Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas); atau
b.      menjadi penanggung pribadi (personal guarantor) berdasarkan perjanjian penanggungan pribadi sehubungan dengan transaksi pemberian fasilitas kredit oleh bank kepada perusahaan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kredit atau pinjaman tertentu.

Bila dia diwajibkan untuk membayar, maka pemegang saham yang bersangkutan wajib membayar lunas seluruh dan setiap hutang yang harus dibayar oleh perusahaan. Bila ada pemegang saham lain yang mempunyai kewajiban yang sama, maka pelaksanaan kewajiban pembayaran tersebut dilakukan secara tanggung renteng di antara para pemegang saham tersebut. Pihak kreditor sebagai pihak ketiga hanya berkepentingan dalam hal hutangnya lunas (dibayar), sedangkan urusan internal sehubungan dengan pertanggung jawaban secara tanggung renteng itu sewajarnya hanya menjadi urusan di antara para pemegang saham pada perusahaan yang bersangkutan.

Kewajiban pembayaran oleh pemegang saham yang dimaksud di atas dapat timbul dari titik atau sudut pandang yang berlainan, yaitu dari salah satu dari kondisi butir (a) dan (b) di atas, atau bahkan keduanya. Dalam hal butir (a), pendekatan (baca: sudut pandang) yang dilakukan adalah pertanggung jawaban dilihat dari sisi ketentuan hukum perusahaan. Sedangkan, dalam hal butir (b), pendekatan yang kedua adalah pertanggung jawaban yang dilihat dari sisi struktur transaksi pemberian fasilitas kredit. Yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa setiap dari kedua pendekatan tersebut tidak ada yang paling benar, karena hanya merupakan pendekatan dalam melakukan analisa apakah pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi. Jadi, kondisi dimana/bila pemegang saham harus atau dapat bertanggung jawab secara pribadi tersebut lah yang harus lebih diperhatikan daripada sejauh mana kewajiban dia itu dapat dimintakan.
 

 Referensi
1. id. wikipedia (Click Here to View)
2. hukumonline (Click Here to View)

Pajak Penghasilan


 
Pajak penghasilan dikenal sebagai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 atau PPh 25 adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.

Sejarah

Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi.
Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, di mana dasar pengenaan pajak adalah " a person's faculty, personal faculties and abilitites",
Pada tahun 1646 di Massachusetts dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Personal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak penghasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962

Pajak penghasilan di Indonesia

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday).
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia.

Ketentuan

Subjek pajak

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
  1. Subjek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
  2. Subjek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
  3. Subjek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
    1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
    3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
    4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
  4. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.

Bukan subjek pajak

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk objek pajak sebagai berikut:
  1. Badan perwakilan negara asing.
  2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
  3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
  4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Objek pajak

Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.

Kronologi perubahan undang-undang

Sesuai dengan amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 23A, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.[2] Pajak Penghasilan (disingkat PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
  4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.


Referensi
id.wikipedia (Click Here to View)