Jurnal Kajian Ekonomi
PENGARUH
NILAI TUKAR TERHADAP KEBIJAKAN MONETER
Oleh :
Rina
Kurniawati
Arindah
Anggraeni
ABSTRAK
Jurnal ini
mengkaji pengaruh nilai tukar terhadap kebijakan moneter. Kebijakan moneter
adalah proses mengatur
persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu, seperti menahan
inflasi, mencapai perekrutan tenaga kerja sepenuhnya atau lebih sejahtera.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk
mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni
menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja,
kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang.
Penguatan nilai tukar rupiah yang
sampai mencapai angka Rp12000, kita bisa lihat bagaimana fluktuasi nilai tukar
rupiah dalam beberapa hari belakangan ini.
Hal ini menimbulkan banyak kecemasan
untuk kita, apakah ini hanya bersifat sementara atau long term, jika kita
berkaca dengan kondisi perekonomian sekarang seperti sulit bisa dikatakan hal
ini akan bertahan lama, karena sebenarnya penguatan rupaih ini dipicu oleh para
spekulan yang bermain di pasar uang, bentuk investasi yang datang ke Indonesia
sekarang berbentuk hot money dan sifatnya short term.
Kata Kunci : Jumlah Uang Beredar, Inflasi dan Suku Bunga
Indonesia
PENDAHULUAN
Sebagai perekonomian terbuka, perkembangan nilai tukar
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar terhadap perekonomian berjalan
melalui dua sisi, permintaan dan penawaran. Pada sisi permintaan, depresiasi
nilai tukar akan menyebabkan harga barang luar negeri relatif lebih tinggi
dibandingkan barang dalam negeri. Hal ini akan meningkatkan permintaan terhadap
barang dalam negeri baik dari permintaan domestik maupun dari permintaan luar
negeri terhadap ekspor. Analisa sisi permintaan ini diperkaya dengan konsep
elastisitas harga Marshall-Lerner condition, di mana depresiasi nilai
tukar akan meningkatkan net ekspor apabila jumlah elastisitas harga ekspor dan
impor lebih besar dari satu. Di lain pihak, dari sisi
penawaran depresiasi nilai tukar akan meningkatkan biaya bahan baku impor yang
selanjutnya dapat menyebabkan penurunan output produksi dan memicu kenaikan
harga secara umum. Efek netto dari depresiasi nilai
tukar terhadap output tergantung dari kekuatan relatif kedua sisi penawaran dan
permintaan tersebut.
Dari sisi permintaan selain dipengaruhi oleh pergerakan
nilai tukar, pergerakan output juga terkait erat dengan kebijakan moneter.
Ekspansi kebijakan moneter akan menurunkan tingkat suku bunga yang selanjutnya
dapat meningkatkan investasi dan output.
Di sisi lain, pengalaman dari krisis nilai tukar telah
menggaris bawahi arti penting dari penyelarasan proyeksi nilai tukar pelaku
ekonomi dalam menentukan kebijakan nilai tukar yang tepat. Berdasarkan hal ini,
kontribusi teori rational expectation bertujuan untuk memisahkan dampak
pergeseran nilai tukar dari komponen yang anticipated dengan yang unanticipated.
Pergerakan yang anticipated pada nilai tukar diasumsikan sejalan dengan
pengamatan para pelaku ekonomi terhadap faktor-faktor fundamental. Sementara
deviasi pada realisasi nilai tukar dari nilai ekspektasinya dapat menangkap
komponen yang unanticipated dari pergerakan nilai tukar. Dalam konteks
ini penawaran output dipengaruhi oleh pergerakan harga yang unanticipated dan
biaya produksi. Pergerakan yang anticipated dari nilai tukar akan
menentukan biaya produksi output tersebut. Di lain pihak, pergerakan nilai
tukar yang unanticipated akan menentukan kondisi perekonomian melalui
tiga jalur; net-ekspor, permintaan uang dan penawaran output (Kandil dan
Mirzaie, 2002).
METODE
Metode yang penulis gunakan adalah
teknik simak catat. Selain itu penulis juga mengumpulkan data melalui teknik
mengunduh dari internet tentang data-data yang mengenai berbagai pengaruh
perubahan nilai tukar terhadap kebijakan moneter. Selanjutnya menggunakan
teknik reduksi data yaitu mengurangi kalimat-kalimat yang tidak dibutukan dalam
pembahasan. Data yang diambil adalah data-data yang berkaitan tentang pengaruh
perubahan nilai tukar terhadap kebijakan moneter.
TABEL HASIL UJI STATIONERITAS
No
|
Variabel
|
Level
|
1st diff
|
Order
|
||||||
ADF
|
p-val
|
ADF
|
p-val
|
|||||||
1
|
yt
|
-2.2586
|
0.4499
|
-8.2703
|
0.0000
|
I(1)
|
||||
2
|
zt
|
-0.7600
|
0.9634
|
-4.2979
|
0.0011
|
I(1)
|
||||
3
|
mt
|
-1.4124
|
0.8477
|
-6.5800
|
0.0000
|
I(1)
|
||||
4
|
gt
|
-2.6406
|
0.2644
|
-6.9680
|
0.0000
|
I(1)
|
||||
5
|
rert
|
-1.7311
|
0.7255
|
-5.5331
|
0.0000
|
I(1)
|
||||
6
|
st
|
-2.0237
|
0.5737
|
-5.2179
|
0.0000
|
I(1)
|
||||
PEMBAHASAN
Sistem nilai tukar Rupiah yang mengambang penuh
yang diberlakukan di Indonesia juga memberikan beberapa implikasi terhadap
pengendalian moneter. Secara teori, dalam sistem nilai tukar mengambang penuh
kebijakan moneter akan semakin efektif khususnya apabila diikuti oleh mobilitas
kapital secara internasional yang semakin sempurna. Setiap terjadi tekanan
nilai tukar Rupiah sebagai efek kebijakan moneter akan disesuaikan melalui
pengaruh suku bunga terhadap aliran modal dan pengaruh perubahan nilai tukar Rupiah
terhadap penawaran ekspor dan permintaan impor. Melalui mekanisme demikian,
neraca transaksi berjalan berfungsi sebagai alat mekanisme penyesuaian yang
penting sehingga overall Balance of Payment (BOP) selalu dalam ekuilibrium.
Suku bunga memegang peranan vital dalam pengendalian moneter dalam sistem nilai
tukar yang fleksibel.
Penguatan nilai tukar rupiah yang sampai mencapai angka
Rp12000, kita bisa lihat bagaimana fluktuasi nilai tukar rupiah dalam beberapa
hari belakangan ini. Hal ini menimbulkan banyak kecemasan untuk kita, apakah
ini hanya bersifat sementara atau long term, jika kita berkaca dengan kondisi
perekonomian sekarang seperti sulit bisa dikatakan hal ini akan bertahan lama,
karena sebenarnya penguatan rupiah ini dipicu oleh para spekulan yang bermain
di pasaruang, bentuk investasi yang datang ke Indonesia sekarang berbenruk hot
money dan sifatnya short term.
Kecemasan juga melanda banyak pengusaha jika nilai tukar
rupiah sampai menembus angka kurang dari Rp12000, dikarenakan jika para pengusaha
ini melakukan eksport besar-besaran sekarang ini, tentu mereka akan mengalami
kerugian karena pada saat mereka berproduksi biaya produksinya justru lebih
besar dikarenakan dolar masih berkisar di atas Rp10000.
Apa yang harus dilakukan bank sentral dalam perkeonomian
sekarang ini. Bank sentral sebagai pengontrol kebijakan moneter harus ambil
bagian untuk mengatasi permasalahan ini, akibat buruk yang terjadi bila tidak
melakukan tindakan dibidang moneter akan mengakibatkan ketimpangan neraca
perdagangan perekonomian empat sector.
Hasil estimasi model empiris memperlihatkan bahwa fluktuasi
nilai tukar hanya berpengaruh pada output dan harga pada periode free floating,
sementara pada periode managed floating baik output maupun harga tidak
terpangaruh secara signifikan terhadap pergerakan nilai tukar.
Dari hasil estimasi persamaan pertumbuhan output,
anticipated depreciation akan meningkatkan output, hal ini memperlihatkan bahwa
jalur sisi permintaan lebih kuat daripada jalur sisi penawaran. Hasil jalur
sisi permintaan ini sejalan dengan Husman (2005) yang memperlihatkan
terpenuhinya Marshall-Lerner condition pada perdagangan Indonesia dengan
mitra dagang utamanya sehingga depresiasi nilai tukar akan meningkatkan net
ekspor Indonesia yang selanjutnya akan meningkatkan output. Di lain pihak, dari
sisi penawaran depresiasi nilai tukar meningkatkan biaya bahan baku impor yang
selanjutnya dapat menyebabkan penurunan output produksi dan memicu kenaikan
harga secara umum. Berdasarkan hasil estimate terlihat bahwa dampak sisi
penawaran lebih kuat jika dibandingkan dengan dampak sisi penawaran terhadap
pertumbuhan output sehingga secara netto depresiasi nilai tukar akan berdampak
positif terhadap output.
Namun demikian karena model yang digunakan pada penelitian
ini tidak memperlihatkan adanya intertemporal budget constraint pada persamaan
konsumsi (1), maka dampak dari kenaikan harga konsumen akibat adanya depresiasi
nilai tukar tidak akan mempengaruhi konsumsi. Jika keputusan konsumsi
didasarkan oleh intertemporal budget constraint, maka kenaikan harga konsumen,
dalam hal ini inflasi, akan menyebabkan turunnya pengeluaran konsumsi pada
periode t sehingga dampak total depresiasi nilai tukar terhadap output
belum tentu tetap akan menjadi positif.
Dari sisi pembentukan harga, karena pada periode managed
floating perubahan nilai tukar yang terjadi tidaklah besar, kenaikan harga
bahan baku impor tidak serta merta dapat menyebabkan produsen meningkatkan
harga jualnya, sementara pada periode free floating yang terjadi adalah sebaliknya.
Pada periode free floating depresiasi nilai tukar baik anticipated maupun
unanticipated akan menyebabkan peningkatan inflasi. Depresiasi nilai
tukar akan meningkatkan harga produk bahan baku impor pada sisi penawaran yang
selanjutnya akan menyebabkan meningkatnya harga konsumen. Meningkatnya
signifikansi jalur ini dibandingkan dengan pada periode managed floating mengindikasikan
semakin kuatnya direct passthrough pada periode free floating.
Selanjutnya, untuk mengetahui simetris atau tidaknya dampak
unanticipated shock dari nilai tukar, dilakukan pemisahan dampak depresiatif
dan apresiatif nilai tukar terhadap inflasi seperti pada persamaan (20).
Berdasarkan hasil estimasi tersebut, diketahui bahwa pengaruh nilai tukar
terhadap harga bersifat asimetris dimana depresiasi akan meningkatkan inflasi,
sementara apresiasi tidak secara signifikan akan menurunkan inflasi. Hasil ini
mengindikasikan bahwa produsen hanya akan meneruskan kenaikan harga bahan baku
impor ke harga jual untuk mempertahankan marjin keuntungannya namun tidak
demikian halnya dengan penurunan harga barang impor. Kondisi ini juga
memperlihatkan bahwa struktur pasar cenderung merupakan monopolistic
competition, sejalan dengan hasil Nugroho, Yanuarti dan Tjahjono (2005).
Beberapa jalur transmisi
kebijakan moneter dengan menggunakan sasaran suku bunga
diataranya adalah :
1.
Intertemporal
substitution. Perubahan
suku bunga akan mengubah biaya pinjaman atau pendapatan dari tabungan. Hal ini
selanjutnya akan berpengaruh terhadap komponen utama pengeluaran, terutama
untuk investasi usaha, investasi perumahan, dan mungkin juga pengeluaran
konsumsi barang-barang tahan lama.
2.
Exchange
rate effect.
Di dalam sistem nilai tukar mengambang, kenaikan suku bunga, ceteris paribus,
biasanya akan dihubungkan dengan apresiasi nilai tukar dalam jangka pendek
sehingga barang impor relatif menjadi lebih murah dan laju inflasi akan
menurun. Kegiatan ekspor juga akan terpengaruh karena penjualan barang ekspor
akan beralih ke dalam negeri. Pengalihan pasar produk ekspor ini juga akan
mendorong turunnya harga harga di dalam negeri.
3.
Cash-flow
effect.
Dengan meningkatnya suku bunga nominal, pendapatan nominal debitur akan
menurun. Jika debitur menghadapi kendala likuiditas akibat meningkatnya suku
bunga dan tidak dapat meminjam lagi dalam jumlah lebih besar untuk
mempertahankan tingkat pengeluaran semula maka pengeluaran mereka terpaksa
harus diturunkan.
4.
Wealth
effect.
Perubahan suku bunga yang biasa digunakan sebagai faktor diskonto dari
ekspektasi pendapatan untuk masa yang akan datang akan mengubah nilai aset
finansial dan aset riil. Perubahan nilai aset-aset tersebut mengakibatkan
perubahan tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi dan pada gilirannya akan
mempengaruhi keputusan konsumsi, investasi dan produksi.
5.
Credit rationing effect. Peningkatan suku bunga dapat mendorong bank-bank untuk
meningkatkan premi resiko yang mereka bebankan kepada debitur lama maupun
calon debitur baru akibat kekhawatiran
akan turunnya kapasitas para debitur dalam membayar hutang-hutangnya. Implikasinya,
suku bunga kredit meningkat, suplai kredit menurun, atau terjadi penjatahan
kredit.
Dampak
Money Supply
Pada periode managed floating, terlihat bahwa hanya shock
pada kebijakan money supply yang dapat mempengaruhi pertumbuhan output dan
harga, sementara faktor lain tidak memberikan dampak secara signifikan.
Signifikannya pengaruh unanticipated money supply shock terhadap output ini
sejalan dengan hipotesis yang diungkapkan oleh Barro (1979). Namun demikian,
pada periode free floating stimulus moneter terlihat tidak efektif dalam
meningkatkan output melainkan hanya akan meningkatkan inflasi.
Perubahan efektifitas stimulus moneter ini dipengaruhi oleh
adanya perubahan pada elastisitas suku bunga terhadap money supply, yaitu
parameter λ pada persamaan (9). Hasil estimasi persamaan forecast untuk
variabel money supply memperlihatkan bahwa pada periode managed floating parameter
λ bernilai -0.02 namun pada periode freefloating nilainya menjadi 0.005.
Perubahan ini diantaranya dapat disebabkan oleh adanya peningkatan faktor
ekspektasi inflasi dimana peningkatan udang berdear akan mempengaruhi
ekspektasi masyarakat terhadap tingkat inflasi di masa depan yang pada akhirnya
akan meningkatkan tingkat suku bunga (Mishkin, 2001). Implikasinya ekspansi
moneter gagal untuk menurunkan suku bunga nominal sehingga tidak dapat
mendorong pertumbuhan output.
Kembali pada periode managed floating, ekspansi moneter
dapat menyebabkan depresiasi nilai tukar sehingga untuk mempertahankan nilai
tukar rupiah, dibutuhkan sterilisasi dengan membeli rupiah terhadap mata uang
asing. Proses ini akan menyebabkan bergesernya kembali kurva LM ke kiri. Namun
seperti yang bisa dilihat dari Grafik 1 yang memperlihatkan pergerakan rupiah
sepanjang periode managed floating, nilai tukar tetap dibiarkan
terdepresiasi secara perlahan sehingga kurva LM tidak sepenuhnya kembali ke
posisi semula. Pergeseran kurva LM relatif terhadap posisi semula akan
menyebabkan turunnya tingkat suku bunga yang pada gilirannya dapat menghasilkan
peningkatan output sesuai dengan hubungan yang diperlihatkan pada persamaan
(9).
Dampak
Kebijakan
Dampak terbesar disebabkan oleh depresiasi nilai tukar
dimana kenaikan 1% pada depresiasi nilai tukar riil akan menyebabkan kenaikan
pertumbuhan output sebesar 0.441%. Namun dampak kedua variabel kebijakan
tersebut masih lebih rendah dibandingkan dampak pertumbuhan money supply terhadap
pertumbuhan pada periode managed floating dimana 1% kenaikan pertumbuhan
uang beredar akan menyebabkan 0.898% kenaikan pertumbuhan.
Untuk persamaan inflasi baik pada periode managed
floating maupun periode free floating, kebijakan moneter memberikan
dampak terbesar terhadap inflasi dimana 1% kenaikan pertumbuhan unag beredar
akan menyebabkan 0.231% kenaikan inflasi pada periode managed floating,
dan 0.362% pada periode free floating Hasil ini memperlihatkan adanya
kenaikan pengaruh uang beredar terhadap inflasi pada periode free floating
dibandingkan periode managed floating. Kenaikan ini dapat disebabkan
oleh meningkatnya pengaruh ekspektasi inflasi. Pada tingkat yang lebih rendah,
depresiasi nilai tukar juga memiliki dampak yang signifikan terhadap inflasi
dimana kenaikan 1% pada depresiasi nilai tukar akan menyebabkan kenaikan
inflasi sebesar 0.120% untuk dampak anticipated, dan 0.099% untuk dampak
unanticipated. Namun demikian hasil estimasi persamaan (20)
memperlihatkan bahwa dampak pergerakan nilai tukar ini tidak bersifat simetris
dimana apresiasi nilai tukar tidak menyebakan penurunan tingkat inflasi.
PENUTUP
Hasil empiris dari studi ini memperlihatkan bahwa perubahan
rezim nilai tukar telah mempengaruhi dampak nilai tukar, maupun efektifitas
kebijakan moneter, dalam mempengaruhi pertumbuhan output dan inflasi. Perubahan
ini mungkin tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan perubahan rezim nilai
tukar, melainkan melalui faktor lain akibat perubahan rezim itu sendiri. Faktor
lain yang menyebabkan perubahan efektifitas ini ialah faktor ekspektasi inflasi
dimana pengaruhnya meningkat pada periode free floating. Peningkatan ini
salah satunya diindikasikan oleh berubahnya elastisitas suku bunga terhadap
uang beredar. Di samping itu, perubahan rezim nilai tukar juga membawa
konsekuensi meningkatnya dampak direct-passthrough nilai tukar terhadap
inflasi.
Dari sisi efektifitas tiap kebijakan dalam mendorong
pertumbuhan terlihat bahwa pada periode managed floating monetary
stimulus bekerja efektif dalam meningkatkan output namun tidak demikian halnya
pada periode free floating.
Dari sisi dampak nilai tukar terhadap pertumbuhan output,
dalam studi ini terlihat bahwa perubahan output lebih didominasi oleh sisi
permintaan; melalui jalur peningkatan daya saing, daripada sisi penawaran;
melalui peningkatan biaya bahan baku impor. Hal ini telihat dari positifnya
dampak netto dari depresiasi nilai tukar terhadap pertumbuhan.
Jika dilihat dari besarnya dampak tiap kebijakan, variabel
kebijakan yang paling besar pengaruhnya tehadap pertumbuhan output pada periode
free floating ialah dampak depresiasi nilai tukar. Namun dampak variabel
kebijakan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dampak pertumbuhan money
supply terhadap pertumbuhan output pada periode managed floating. Sementara itu
dari sisi pembentukan harga, baik pada periode managed floating maupun periode
free floating, kebijakan moneter memberikan dampak terbesar terhadap
inflasi.
Referensi
Agenor,
P.R. (1991) Output, Devaluation and the Real Exchange Rate in Developing
Countries, Weltwirtschaftliches Archives, Band 127.
Barro,
Robert J. (1977) Unticipated Money Growth and Unemployment in the United
States, the American Economic Review, Vol 67, No. 2.
Bilan,
Olena (2005). In Search of the Liquidity Effect in Ukraine, Journal of
Comparative Economics, Vol 33. No. 3, pp. 484-499.
Cover,
J.P. (1992). Asymmetric Effects of Positive and Negative Money Supply Shocks, Quarterly
Journal of Economics 107 (4), 1261-1282.
Dickey,
D.A. and Fuller, W.A. (1981),”Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive
Time Series witha Unit Root”, Econometrica, Vol. 49.