Pages

Senin, 18 Mei 2015

PENGARUH NILAI TUKAR TERHADAP KEBIJAKAN MONETER


Jurnal Kajian Ekonomi

PENGARUH NILAI TUKAR TERHADAP KEBIJAKAN MONETER

Oleh :
Rina Kurniawati
Arindah Anggraeni
ABSTRAK
Jurnal ini mengkaji pengaruh nilai tukar terhadap kebijakan moneter. Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu, seperti menahan inflasi, mencapai perekrutan tenaga kerja sepenuhnya atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang.
Penguatan nilai tukar rupiah yang sampai mencapai angka Rp12000, kita bisa lihat bagaimana fluktuasi nilai tukar rupiah dalam beberapa hari belakangan ini. Hal ini menimbulkan banyak kecemasan untuk kita, apakah ini hanya bersifat sementara atau long term, jika kita berkaca dengan kondisi perekonomian sekarang seperti sulit bisa dikatakan hal ini akan bertahan lama, karena sebenarnya penguatan rupaih ini dipicu oleh para spekulan yang bermain di pasar uang, bentuk investasi yang datang ke Indonesia sekarang berbentuk hot money dan sifatnya short term.

Kata Kunci : Jumlah Uang Beredar, Inflasi dan Suku Bunga Indonesia

PENDAHULUAN
Sebagai perekonomian terbuka, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar terhadap perekonomian berjalan melalui dua sisi, permintaan dan penawaran. Pada sisi permintaan, depresiasi nilai tukar akan menyebabkan harga barang luar negeri relatif lebih tinggi dibandingkan barang dalam negeri. Hal ini akan meningkatkan permintaan terhadap barang dalam negeri baik dari permintaan domestik maupun dari permintaan luar negeri terhadap ekspor. Analisa sisi permintaan ini diperkaya dengan konsep elastisitas harga Marshall-Lerner condition, di mana depresiasi nilai tukar akan meningkatkan net ekspor apabila jumlah elastisitas harga ekspor dan impor lebih besar dari satu. Di lain pihak, dari sisi penawaran depresiasi nilai tukar akan meningkatkan biaya bahan baku impor yang selanjutnya dapat menyebabkan penurunan output produksi dan memicu kenaikan harga secara umum. Efek netto dari depresiasi nilai tukar terhadap output tergantung dari kekuatan relatif kedua sisi penawaran dan permintaan tersebut.
Dari sisi permintaan selain dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar, pergerakan output juga terkait erat dengan kebijakan moneter. Ekspansi kebijakan moneter akan menurunkan tingkat suku bunga yang selanjutnya dapat meningkatkan investasi dan output. 
Di sisi lain, pengalaman dari krisis nilai tukar telah menggaris bawahi arti penting dari penyelarasan proyeksi nilai tukar pelaku ekonomi dalam menentukan kebijakan nilai tukar yang tepat. Berdasarkan hal ini, kontribusi teori rational expectation bertujuan untuk memisahkan dampak pergeseran nilai tukar dari komponen yang anticipated dengan yang unanticipated. Pergerakan yang anticipated pada nilai tukar diasumsikan sejalan dengan pengamatan para pelaku ekonomi terhadap faktor-faktor fundamental. Sementara deviasi pada realisasi nilai tukar dari nilai ekspektasinya dapat menangkap komponen yang unanticipated dari pergerakan nilai tukar. Dalam konteks ini penawaran output dipengaruhi oleh pergerakan harga yang unanticipated dan biaya produksi. Pergerakan yang anticipated dari nilai tukar akan menentukan biaya produksi output tersebut. Di lain pihak, pergerakan nilai tukar yang unanticipated akan menentukan kondisi perekonomian melalui tiga jalur; net-ekspor, permintaan uang dan penawaran output (Kandil dan Mirzaie, 2002).


METODE
            Metode yang penulis gunakan adalah teknik simak catat. Selain itu penulis juga mengumpulkan data melalui teknik mengunduh dari internet tentang data-data yang mengenai berbagai pengaruh perubahan nilai tukar terhadap kebijakan moneter. Selanjutnya menggunakan teknik reduksi data yaitu mengurangi kalimat-kalimat yang tidak dibutukan dalam pembahasan. Data yang diambil adalah data-data yang berkaitan tentang pengaruh perubahan nilai tukar terhadap kebijakan moneter. 
TABEL HASIL UJI STATIONERITAS
No
Variabel
Level
1st diff
Order
ADF
p-val
ADF
p-val

1
yt
-2.2586
0.4499
-8.2703
0.0000
I(1)
2
zt
-0.7600
0.9634
-4.2979
0.0011
I(1)
3
mt
-1.4124
0.8477
-6.5800
0.0000
I(1)
4
gt
-2.6406
0.2644
-6.9680
0.0000
I(1)
5
rert
-1.7311
0.7255
-5.5331
0.0000
I(1)
6
st
-2.0237
0.5737
-5.2179
0.0000
I(1)


PEMBAHASAN
Sistem nilai tukar Rupiah yang mengambang penuh yang diberlakukan di Indonesia juga memberikan beberapa implikasi terhadap pengendalian moneter. Secara teori, dalam sistem nilai tukar mengambang penuh kebijakan moneter akan semakin efektif khususnya apabila diikuti oleh mobilitas kapital secara internasional yang semakin sempurna. Setiap terjadi tekanan nilai tukar Rupiah sebagai efek kebijakan moneter akan disesuaikan melalui pengaruh suku bunga terhadap aliran modal dan pengaruh perubahan nilai tukar Rupiah terhadap penawaran ekspor dan permintaan impor. Melalui mekanisme demikian, neraca transaksi berjalan berfungsi sebagai alat mekanisme penyesuaian yang penting sehingga overall Balance of Payment (BOP) selalu dalam ekuilibrium. Suku bunga memegang peranan vital dalam pengendalian moneter dalam sistem nilai tukar yang fleksibel.
Penguatan nilai tukar rupiah yang sampai mencapai angka Rp12000, kita bisa lihat bagaimana fluktuasi nilai tukar rupiah dalam beberapa hari belakangan ini. Hal ini menimbulkan banyak kecemasan untuk kita, apakah ini hanya bersifat sementara atau long term, jika kita berkaca dengan kondisi perekonomian sekarang seperti sulit bisa dikatakan hal ini akan bertahan lama, karena sebenarnya penguatan rupiah ini dipicu oleh para spekulan yang bermain di pasaruang, bentuk investasi yang datang ke Indonesia sekarang berbenruk hot money dan sifatnya short term.
Kecemasan juga melanda banyak pengusaha jika nilai tukar rupiah sampai menembus angka kurang dari Rp12000, dikarenakan jika para pengusaha ini melakukan eksport besar-besaran sekarang ini, tentu mereka akan mengalami kerugian karena pada saat mereka berproduksi biaya produksinya justru lebih besar dikarenakan dolar masih berkisar di atas Rp10000.
Apa yang harus dilakukan bank sentral dalam perkeonomian sekarang ini. Bank sentral sebagai pengontrol kebijakan moneter harus ambil bagian untuk mengatasi permasalahan ini, akibat buruk yang terjadi bila tidak melakukan tindakan dibidang moneter akan mengakibatkan ketimpangan neraca perdagangan perekonomian empat sector.
Hasil estimasi model empiris memperlihatkan bahwa fluktuasi nilai tukar hanya berpengaruh pada output dan harga pada periode free floating, sementara pada periode managed floating baik output maupun harga tidak terpangaruh secara signifikan terhadap pergerakan nilai tukar.
Dari hasil estimasi persamaan pertumbuhan output, anticipated depreciation akan meningkatkan output, hal ini memperlihatkan bahwa jalur sisi permintaan lebih kuat daripada jalur sisi penawaran. Hasil jalur sisi permintaan ini sejalan dengan Husman (2005) yang memperlihatkan terpenuhinya Marshall-Lerner condition pada perdagangan Indonesia dengan mitra dagang utamanya sehingga depresiasi nilai tukar akan meningkatkan net ekspor Indonesia yang selanjutnya akan meningkatkan output. Di lain pihak, dari sisi penawaran depresiasi nilai tukar meningkatkan biaya bahan baku impor yang selanjutnya dapat menyebabkan penurunan output produksi dan memicu kenaikan harga secara umum. Berdasarkan hasil estimate terlihat bahwa dampak sisi penawaran lebih kuat jika dibandingkan dengan dampak sisi penawaran terhadap pertumbuhan output sehingga secara netto depresiasi nilai tukar akan berdampak positif terhadap output.
Namun demikian karena model yang digunakan pada penelitian ini tidak memperlihatkan adanya intertemporal budget constraint pada persamaan konsumsi (1), maka dampak dari kenaikan harga konsumen akibat adanya depresiasi nilai tukar tidak akan mempengaruhi konsumsi. Jika keputusan konsumsi didasarkan oleh intertemporal budget constraint, maka kenaikan harga konsumen, dalam hal ini inflasi, akan menyebabkan turunnya pengeluaran konsumsi pada periode t sehingga dampak total depresiasi nilai tukar terhadap output belum tentu tetap akan menjadi positif.
Dari sisi pembentukan harga, karena pada periode managed floating perubahan nilai tukar yang terjadi tidaklah besar, kenaikan harga bahan baku impor tidak serta merta dapat menyebabkan produsen meningkatkan harga jualnya, sementara pada periode free floating yang terjadi adalah sebaliknya. Pada periode free floating depresiasi nilai tukar baik anticipated maupun unanticipated akan menyebabkan peningkatan inflasi. Depresiasi nilai tukar akan meningkatkan harga produk bahan baku impor pada sisi penawaran yang selanjutnya akan menyebabkan meningkatnya harga konsumen. Meningkatnya signifikansi jalur ini dibandingkan dengan pada periode managed floating mengindikasikan semakin kuatnya direct passthrough pada periode free floating.
Selanjutnya, untuk mengetahui simetris atau tidaknya dampak unanticipated shock dari nilai tukar, dilakukan pemisahan dampak depresiatif dan apresiatif nilai tukar terhadap inflasi seperti pada persamaan (20). Berdasarkan hasil estimasi tersebut, diketahui bahwa pengaruh nilai tukar terhadap harga bersifat asimetris dimana depresiasi akan meningkatkan inflasi, sementara apresiasi tidak secara signifikan akan menurunkan inflasi. Hasil ini mengindikasikan bahwa produsen hanya akan meneruskan kenaikan harga bahan baku impor ke harga jual untuk mempertahankan marjin keuntungannya namun tidak demikian halnya dengan penurunan harga barang impor. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa struktur pasar cenderung merupakan monopolistic competition, sejalan dengan hasil Nugroho, Yanuarti dan Tjahjono (2005).
Beberapa jalur transmisi kebijakan moneter dengan menggunakan sasaran suku bunga
diataranya adalah :
1.    Intertemporal substitution. Perubahan suku bunga akan mengubah biaya pinjaman atau pendapatan dari tabungan. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh terhadap komponen utama pengeluaran, terutama untuk investasi usaha, investasi perumahan, dan mungkin juga pengeluaran konsumsi barang-barang tahan lama.
2.    Exchange rate effect. Di dalam sistem nilai tukar mengambang, kenaikan suku bunga, ceteris paribus, biasanya akan dihubungkan dengan apresiasi nilai tukar dalam jangka pendek sehingga barang impor relatif menjadi lebih murah dan laju inflasi akan menurun. Kegiatan ekspor juga akan terpengaruh karena penjualan barang ekspor akan beralih ke dalam negeri. Pengalihan pasar produk ekspor ini juga akan mendorong turunnya harga harga di dalam negeri.
3.    Cash-flow effect. Dengan meningkatnya suku bunga nominal, pendapatan nominal debitur akan menurun. Jika debitur menghadapi kendala likuiditas akibat meningkatnya suku bunga dan tidak dapat meminjam lagi dalam jumlah lebih besar untuk mempertahankan tingkat pengeluaran semula maka pengeluaran mereka terpaksa harus diturunkan.
4.    Wealth effect. Perubahan suku bunga yang biasa digunakan sebagai faktor diskonto dari ekspektasi pendapatan untuk masa yang akan datang akan mengubah nilai aset finansial dan aset riil. Perubahan nilai aset-aset tersebut mengakibatkan perubahan tingkat kesejahteraan pelaku ekonomi dan pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan konsumsi, investasi dan produksi.
5.            Credit rationing effect. Peningkatan suku bunga dapat mendorong bank-bank untuk meningkatkan premi resiko yang mereka bebankan kepada debitur lama maupun calon  debitur baru akibat kekhawatiran akan turunnya kapasitas para debitur dalam membayar hutang-hutangnya. Implikasinya, suku bunga kredit meningkat, suplai kredit menurun, atau terjadi penjatahan kredit.

Dampak Money Supply
Pada periode managed floating, terlihat bahwa hanya shock pada kebijakan money supply yang dapat mempengaruhi pertumbuhan output dan harga, sementara faktor lain tidak memberikan dampak secara signifikan. Signifikannya pengaruh unanticipated money supply shock terhadap output ini sejalan dengan hipotesis yang diungkapkan oleh Barro (1979). Namun demikian, pada periode free floating stimulus moneter terlihat tidak efektif dalam meningkatkan output melainkan hanya akan meningkatkan inflasi.
Perubahan efektifitas stimulus moneter ini dipengaruhi oleh adanya perubahan pada elastisitas suku bunga terhadap money supply, yaitu parameter λ pada persamaan (9). Hasil estimasi persamaan forecast untuk variabel money supply memperlihatkan bahwa pada periode managed floating parameter λ bernilai -0.02 namun pada periode freefloating nilainya menjadi 0.005. Perubahan ini diantaranya dapat disebabkan oleh adanya peningkatan faktor ekspektasi inflasi dimana peningkatan udang berdear akan mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap tingkat inflasi di masa depan yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat suku bunga (Mishkin, 2001). Implikasinya ekspansi moneter gagal untuk menurunkan suku bunga nominal sehingga tidak dapat mendorong pertumbuhan output.
Kembali pada periode managed floating, ekspansi moneter dapat menyebabkan depresiasi nilai tukar sehingga untuk mempertahankan nilai tukar rupiah, dibutuhkan sterilisasi dengan membeli rupiah terhadap mata uang asing. Proses ini akan menyebabkan bergesernya kembali kurva LM ke kiri. Namun seperti yang bisa dilihat dari Grafik 1 yang memperlihatkan pergerakan rupiah sepanjang periode managed floating, nilai tukar tetap dibiarkan terdepresiasi secara perlahan sehingga kurva LM tidak sepenuhnya kembali ke posisi semula. Pergeseran kurva LM relatif terhadap posisi semula akan menyebabkan turunnya tingkat suku bunga yang pada gilirannya dapat menghasilkan peningkatan output sesuai dengan hubungan yang diperlihatkan pada persamaan (9).

Dampak Kebijakan
Dampak terbesar disebabkan oleh depresiasi nilai tukar dimana kenaikan 1% pada depresiasi nilai tukar riil akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan output sebesar 0.441%. Namun dampak kedua variabel kebijakan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dampak pertumbuhan money supply terhadap pertumbuhan pada periode managed floating dimana 1% kenaikan pertumbuhan uang beredar akan menyebabkan 0.898% kenaikan pertumbuhan.
Untuk persamaan inflasi baik pada periode managed floating maupun periode free floating, kebijakan moneter memberikan dampak terbesar terhadap inflasi dimana 1% kenaikan pertumbuhan unag beredar akan menyebabkan 0.231% kenaikan inflasi pada periode managed floating, dan 0.362% pada periode free floating Hasil ini memperlihatkan adanya kenaikan pengaruh uang beredar terhadap inflasi pada periode free floating dibandingkan periode managed floating. Kenaikan ini dapat disebabkan oleh meningkatnya pengaruh ekspektasi inflasi. Pada tingkat yang lebih rendah, depresiasi nilai tukar juga memiliki dampak yang signifikan terhadap inflasi dimana kenaikan 1% pada depresiasi nilai tukar akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0.120% untuk dampak anticipated, dan 0.099% untuk dampak unanticipated. Namun demikian hasil estimasi persamaan (20) memperlihatkan bahwa dampak pergerakan nilai tukar ini tidak bersifat simetris dimana apresiasi nilai tukar tidak menyebakan penurunan tingkat inflasi.


PENUTUP
Hasil empiris dari studi ini memperlihatkan bahwa perubahan rezim nilai tukar telah mempengaruhi dampak nilai tukar, maupun efektifitas kebijakan moneter, dalam mempengaruhi pertumbuhan output dan inflasi. Perubahan ini mungkin tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan perubahan rezim nilai tukar, melainkan melalui faktor lain akibat perubahan rezim itu sendiri. Faktor lain yang menyebabkan perubahan efektifitas ini ialah faktor ekspektasi inflasi dimana pengaruhnya meningkat pada periode free floating. Peningkatan ini salah satunya diindikasikan oleh berubahnya elastisitas suku bunga terhadap uang beredar. Di samping itu, perubahan rezim nilai tukar juga membawa konsekuensi meningkatnya dampak direct-passthrough nilai tukar terhadap inflasi.
Dari sisi efektifitas tiap kebijakan dalam mendorong pertumbuhan terlihat bahwa pada periode managed floating monetary stimulus bekerja efektif dalam meningkatkan output namun tidak demikian halnya pada periode free floating.
Dari sisi dampak nilai tukar terhadap pertumbuhan output, dalam studi ini terlihat bahwa perubahan output lebih didominasi oleh sisi permintaan; melalui jalur peningkatan daya saing, daripada sisi penawaran; melalui peningkatan biaya bahan baku impor. Hal ini telihat dari positifnya dampak netto dari depresiasi nilai tukar terhadap pertumbuhan.
Jika dilihat dari besarnya dampak tiap kebijakan, variabel kebijakan yang paling besar pengaruhnya tehadap pertumbuhan output pada periode free floating ialah dampak depresiasi nilai tukar. Namun dampak variabel kebijakan tersebut masih lebih rendah dibandingkan dampak pertumbuhan money supply terhadap pertumbuhan output pada periode managed floating. Sementara itu dari sisi pembentukan harga, baik pada periode managed floating maupun periode free floating, kebijakan moneter memberikan dampak terbesar terhadap inflasi.

Referensi
Agenor, P.R. (1991) Output, Devaluation and the Real Exchange Rate in Developing Countries, Weltwirtschaftliches Archives, Band 127.
Barro, Robert J. (1977) Unticipated Money Growth and Unemployment in the United States, the American Economic Review, Vol 67, No. 2.
Bilan, Olena (2005). In Search of the Liquidity Effect in Ukraine, Journal of Comparative Economics, Vol 33. No. 3, pp. 484-499.
Cover, J.P. (1992). Asymmetric Effects of Positive and Negative Money Supply Shocks, Quarterly Journal of Economics 107 (4), 1261-1282.
Dickey, D.A. and Fuller, W.A. (1981),”Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series witha Unit Root”, Econometrica, Vol. 49.
Johansen, S. (1988),”Statistical Analysis of Cointegration Vectors”, Journal of Economic Dynamics and Control, Vol. 12.

0 komentar:

Posting Komentar